News Update
- Bali Mau Dibuka, Sandiaga Tampung Usulan Pelaku Wisata
- Potret Jembatan Kaca Tak Biasa di China
- Kota Ini Lekat dengan Tukang Sayur Bermotor CBR-Ninja 250
- Ini Cara Perbaiki Kualitas Tidur Tanpa Konsumsi Obat
- 5 Makanan dan Minuman yang Tak Disarankan untuk Pengidap Bipolar
- Unik, Ada Masjid Full Color di Tengah Perkampungan Garut
- Melihat Mesin Pencetak Uang Kuno di Galeri Museum Peruri
- Bangkit Lagi, Hotel Bandung dan Saung Angklung Udjo Lakukan Kolaborasi

ilustrasi
(IANnews.id) Kotabaru - Sebagian petani di Kabupaten Kotabaru,
Kalimantan Selatan, mulai kreatif untuk bercocok tanam tanpa mengolah
tanah terlebih dahulu seperti pada umumnya.
"Sebelum ditanami, tanah yang ditumbuhi rerumputan, gulma, dan semak-semak dibabat dan dibakar," kata Abu Bakar, seorang petani di Kelumpang Selatan di Kotabaru, Senin.
Setelah lahan bersih dan mendapatkan guyuran hujan hingga dua kali, petani langsung menanam gabah dengan cara lahan ditugal tanpa air yang menggenangi sawah.
Namun, sebelum gabah dimasukkan ke dalam lubang-lubang tugalan, lahan yang siap ditanam tersebut disemprot dengan herbisida untuk mencegah rumput tumbuh kembali.
Mereka juga tidak lagi menggunakan bibit biasa atau bibit lokal, karena hasilnya kurang optimal dan rasanya lebih enak dengan bibit unggul.
Bertanam tanpa mengolah tanah membuat petani, katanya, lebih untung karena tidak perlu mengeluarkan biaya olah tanah yang bisa mencapai jutaan rupiah dalam satu hektare, untuk biaya sewa traktor, dan mencangkul.
Dana yang seyogyanya untuk mengolah tanah tersebut, bisa digunakan untuk membeli pupuk dan pestisida.
Seorang petani asal Kelumpang Selatan, Dasim, mengaku bersama para petani sekitarnya sudah dua kali panen hasil budi daya bibit unggul yang selain tahan terhadap serangan hama, produktivitasnya tinggi.
"Dulu petani di sini masih senang menggunakan benih padi lokal, seperti Padi Manis, Padi Buyung, dan yang lainnya. Tetapi dua kali musim ini sudah beralih ke benih padi unggul, seperti Inpari 31 atau yang lainnya," katanya.
Menurut petani asal Lamongan, Jawa Timur itu, padi lokal tersebut memerlukan waktu cukup lama, yakni mulai 4-9 bulan baru untuk bisa dipanen, sedangkan padi jenis unggul hanya tiga bulan 10 hari sudah bisa dipanen.
Selain waktunya cukup lama, hasil panen juga rendah dibandingkan dengan menggunakan benih padi varietas unggul.
"Agar mendapatkan hasil panen melimpah, kami harus menggunakan benih padi unggul, biar harga benihnya mahal, tetapi hasilnya cukup besar," kata Rokhim, yang juga petani.
Seorang petani lainnya, Asmo, mengatakan dengan menggunakan benih padi unggul, petani dapat menghemat biaya perawatan, pemupukan, dan lain-lain.
"Kami cukup dua kali memupuk yang tidak seberapa, dan alhamdulillah hasilnya lumayan banyak," katanya.
Ibu rumah tangga yang juga petani setempat, Sutiah, mengaku musim panen tiga bulan lalu, mendapatkan sekitar 150 karung, hasil panen tersebut meningkat lebih dari 100 persen apabila dibandingkan dengan menggunakan benih padi lokal.
Selain Sutiah, masih banyak petani di Kelumpang Selatan dan sekitarnya tidak lagi menggunakan benih padi lokal, tetapi mereka mulai beralih menggunakan benih padi dengan varietas terbaru.
"Sebelum ditanami, tanah yang ditumbuhi rerumputan, gulma, dan semak-semak dibabat dan dibakar," kata Abu Bakar, seorang petani di Kelumpang Selatan di Kotabaru, Senin.
Setelah lahan bersih dan mendapatkan guyuran hujan hingga dua kali, petani langsung menanam gabah dengan cara lahan ditugal tanpa air yang menggenangi sawah.
Namun, sebelum gabah dimasukkan ke dalam lubang-lubang tugalan, lahan yang siap ditanam tersebut disemprot dengan herbisida untuk mencegah rumput tumbuh kembali.
Mereka juga tidak lagi menggunakan bibit biasa atau bibit lokal, karena hasilnya kurang optimal dan rasanya lebih enak dengan bibit unggul.
Bertanam tanpa mengolah tanah membuat petani, katanya, lebih untung karena tidak perlu mengeluarkan biaya olah tanah yang bisa mencapai jutaan rupiah dalam satu hektare, untuk biaya sewa traktor, dan mencangkul.
Dana yang seyogyanya untuk mengolah tanah tersebut, bisa digunakan untuk membeli pupuk dan pestisida.
Seorang petani asal Kelumpang Selatan, Dasim, mengaku bersama para petani sekitarnya sudah dua kali panen hasil budi daya bibit unggul yang selain tahan terhadap serangan hama, produktivitasnya tinggi.
"Dulu petani di sini masih senang menggunakan benih padi lokal, seperti Padi Manis, Padi Buyung, dan yang lainnya. Tetapi dua kali musim ini sudah beralih ke benih padi unggul, seperti Inpari 31 atau yang lainnya," katanya.
Menurut petani asal Lamongan, Jawa Timur itu, padi lokal tersebut memerlukan waktu cukup lama, yakni mulai 4-9 bulan baru untuk bisa dipanen, sedangkan padi jenis unggul hanya tiga bulan 10 hari sudah bisa dipanen.
Selain waktunya cukup lama, hasil panen juga rendah dibandingkan dengan menggunakan benih padi varietas unggul.
"Agar mendapatkan hasil panen melimpah, kami harus menggunakan benih padi unggul, biar harga benihnya mahal, tetapi hasilnya cukup besar," kata Rokhim, yang juga petani.
Seorang petani lainnya, Asmo, mengatakan dengan menggunakan benih padi unggul, petani dapat menghemat biaya perawatan, pemupukan, dan lain-lain.
"Kami cukup dua kali memupuk yang tidak seberapa, dan alhamdulillah hasilnya lumayan banyak," katanya.
Ibu rumah tangga yang juga petani setempat, Sutiah, mengaku musim panen tiga bulan lalu, mendapatkan sekitar 150 karung, hasil panen tersebut meningkat lebih dari 100 persen apabila dibandingkan dengan menggunakan benih padi lokal.
Selain Sutiah, masih banyak petani di Kelumpang Selatan dan sekitarnya tidak lagi menggunakan benih padi lokal, tetapi mereka mulai beralih menggunakan benih padi dengan varietas terbaru.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2015